Melalui kebaikan beberapa teman guru di Papua, saya bisa
memperoleh ungkapan harapan beberapa siswa Papua dalam mengikuti pendidikan di
sekolah. Iko Segu Do, seorang guru relawan di SD YPPK St. Petrus Yame,
Kabupaten Mappi, Papua mengirim beberapa catatan siswa tersebut.
“Saya ingin bisa belajar dengan aman dan nyaman”, tulis Kili Stapahas (siswa
Kls VI).
“Saya ingin belajar dengan sekolah yang baik”, tulis Saverius Cangko (kls VI).
Ungkapan lainnya ditulis Welmince Elly (Kls V), “Harapan saya, sekolah yang
tersedia ruang kelas, guru yang baik hati siap membimbing membaca”.
“Saya ingin sekolah yang bersih dan guru yang baik”, tulis Linawati Mess ( Kls
V).
Sampel dua pendapat siswa terakhir di atas dikirim Beti
Nasatekay, M.Pd., lulusan Prodi Pengembangan Kurikulum SPs UPI), yang juga guru
SDN Bring Distrik Kemtuk Gresi Kabupaten Jayapura.
Ilustrasi di atas memberi catatan ringkas betapa program pendidikan di Provinsi
Papua dan Provinsi Papua Barat, terutama di daerah pinggiran dan wilayah
pegunungan perlu ditingkatkan yang lebih optimal.
Pertama, bagi masyarakat yang bermukim di daerah terpencil, yaitu antara lain wilayah Pegunungan Tengah di Papua, ketersediaan fasilitas sekolah yang memadai masih merupakan barang mewah yang jarang ditemukan. Kalaupun ada pembangunan sekolah, bagi kelompok masyarakat terpencil, jarak sekolah dengan pemukiman warga sangat jauh, dengan kondisi geografis yang ekstrim, nyaris tak ada fasilitas akses jalan, kecuali jalan setapak yang terjal dan tertutup padang ilalang.
Kedua, ketersediaan guru sangat terbatas. Di daerah Pegunungan Tengah dan wilayah isolated area lainnya, banyak sekolah yang nyaris tanpa ada guru yang memenuhi kualifikasi. Dengan kondisi geografis yang ekstrim, sering sekolah di wilayah pegunungan, banyak “ditinggalkan” para guru. Mereka tidak kerasan untuk bisa bekerja pada lingkungan geografis yang ekstrim penuh keterbatasan. Kondisi ini membuat angka ketidakhadiran guru menjadi sangat tinggi. Siswa sering diterlantarkan.
Ketiga, sistem manajemen pendidikan di banyak kabupaten di wilayah Pegunungan Tengah tak berjalan dengan baik. Di banyak distrik di wilayah pegunungan, sistem manajemen pendidikan nyaris lumpuh. Kondisi ini diperparah dengan pertimbangan keamanan yang tak kondusif. Banyak sekolah yang terganggu proses belajar mengajarnya. Hal ini sangat merugikan bagi upaya mencerdaskan generasi muda di Papua, terutama bagi generas muda Orang Asli Papua (OAP).
Topografi Papua
Wilayah Papua sangat unik dan sangat luas. Dari mulai wilayah pantai dataran
rendah yang subur, hamparan rawa yang luas, dataran tinggi yang luas memanjang,
hingga puncak gunung yang senantiasa diselimuti salju abadi.
Wilayah di wilayah Kepala Burung (sekarang hasil pemekaran ada 5
provisi) ini memiliki luas 421,9 ribu kilometer persegi dengan penduduk hanya
2,3 juta jiwa. Bandingkan luas provinsi Jawa Barat yang memiliki luas yang
hanya 29,3 ribu kilometer persegi dengan penduduk mencapai 49,9 juta jiwa.
Penduduk lokal Papua atau sering disebut Orang Asli Papua (OAP) umumnya
bermukim di kawasan Pegunungan tengah. Mereka tersebar di 14 kabupaten wilayah
Pengunungan Tengah. Ke 14 kabupaten yaitu Jayawijaya, Mamberamo Tengah,
Yahukimo, Yalimo, Nduga, Tolikara, Lany Jaya, Pegunungan Bintang, Paniai,
Dogiyai, Intan Jaya, Puncak Jaya, dan Puncak.
Ke 14 Kabupaten terletak di kawasan pegunungan dengan alam atau geografis yang cukup ekstrim. Sarana dan prasarana jalan sangat terbatas. Fasilitas kesehatan juga seadanya. Wilayah tersebut nyaris merupakan kabupaten terisolasi, yang hanya bisa dijangkau dengan pesawat kecil atau melalui “jalan” darat yang terjal.
Jumlah OAP mencapai 49,28% dari total penduduk Papua. Mereka bermata pencaharian sebagai petani tradisional yang miskin dan hidup seadanya. Sebagian warga OAP masih kategori masyarakat pemburu dan peramu (pengumpul ubi ubian yang tumbuh liar di hutan). Mereka hidup di alam terbuka dan berpindah tempat. Dhimaswij (2020) menulis many indigeneous live on rural area, getting close with the nature and working by hunting and fishing.
Rata rata Lama Sekolah
Diamati dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di 14 Kabupaten Papua di atas,
juga masih rendah. Rata rata IPM di 14 kabupaten yaitu 48,33. (BPS Papua, 2020,
diolah). Artinya derajat kesehatan, pendidikan, dan standar hidup layak di
wilayah tersebut perlu penanganan serius.
Kondisi kesehatan dan pendidikan yang rendah ini juga diperparah oleh sistem manajemen pendidikan yang tak berjalan dengan baik, jumlah guru yang terbatas dengan tingkat ketidakhadiran guru yang tinggi di daerah rural. Ketidakhadiran guru (teachers absenteeism) sangat tinggi dan menjadi masalah yang rumit. Lama ketidakhadiran guru bisa mencapai satu semester.
Anderson (2020) melaporkan bahwa In highlands, most of teachers
do not show up for working. To say that teacher absenteeism is a problem. A
teacher may skip a semester for absenteeism.
Rata rata lama sekolah (RLS) di 14 kabupaten tsb sangat rendah. Kabupaten Nduga
0,97 tahun; Puncak 1,96 tahun; Mamberamo Tengah 2,90 tahun; Intan Jaya 2, 64
tahu , Tolikara 3,63 tahun. Bandingkan dengan RLS Nasional yang sudah mencapai
8,34 tahun. (Sumule, 2021).
Kondisi Kabupaten Nduga dan beberapa kabupaten lainnya di wilayah pegunungan sungguh sangat mengkhawatirkan. Ditambah dengan suasana keamanan yang belum reda, me njadikan program pendidikan dasar saja sangat jauh tertinggal. Raihan RLS 0,97 di kabupaten Nduga sungguh sangat menyedihkan. Rata rata warga Nduga baru berkesempatan belajar kurang dari setahun atau hanya 9 bulan saja. Extremely illiterate people.
Capaian RLS di Kabupaten Nduga merupakan capaian terendah antar
Kabupaten di Indonesia. Sungguh merupakan potret pendidikan yang memilukan
setelah lebih dari 77 tahun Indonesia Merdeka atau setelah lebih 60 tahun Irian
kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi pada tahun 1961.
Dalam perspektif Internasional, seperti dilaporkan Nation Master (2020) capaian
ini setara dengan RLS di negara
Guinea Bissau 0,8 tahun; Mali 0,9 tahun; dan Niger 1,0 tahun.
Ketiganya merupakan negara miskin di Aprika. Negara yang paling buncit dalam
capaian rata rata lama sekolah (Means Years School) di dunia.
Itulah capaian pendidikan di wilayah pegunungan tengah di Propinsi Papua.
Masyarakat lokal terhampar di berbagai kantong pemukiman kecil di 14 kabupaten
di wilayah Pegunungan Tengah. Mereka memerlukan perhatian agar memperoleh kesehatan
dan pendidikan yang lebih baik.
Burung Kasuari
Papua sungguh luar biasa. Selain kaya sumberdaya alam (SDA), Papua juga miliki
harta karun flora dan fauna yang khas. Banyak Fauna yang tak ditemukan di
berbagai belahan dunia lain. Salah satunya burung Kasuari.
Kasuari merupakan salah satu dari dua genus burung di dalam suku Casuariidae. Penampilan burung ini sangat mencolok berukuran sangat besar dan tidak bisa terbang. Ukuran tubuhnya bervariasi dengan ukuran paling tinggi 2 meter dan paling berat 65 kg. Burung ini memiliki bulu yang berwarna hitam dan keras. Wajah biru yang cerah menggemaskan, dan sepasang lipatan kulit merah sebagai pial yang tergantung di lehernya. Burung ini juga memiliki helm pelindung kepala yang menonjol. Kasuari bukan burung yang ramah dan bersahabat. Burung ini memiliki julukan burung paling berbahaya di di dunia. The World’s most dangerous bird (Guiness World Records.com, 2019). Dengan kaki dan cakarnya yang besar dan kokoh, burung ini bisa melukai lawannya termasuk manusia dalam sekejap.
Kasuari Poliandri
Burung Kasuari sangat unik. Pada musim kawin, biasanya musim panas (Juni –
Agustus), kasuari betina lebih agresif. Jika kasuari betina suka dan jatuh
cinta pada kasuari jantan tertentu, ia akan segera merelakan dirinya untuk
berbarengan dan jalan bersama dengan kasuari jantan. Sebaliknya, bila sang
kasuari betina tak suka, ia akan dengan tegas menghardik dan menghalau kasuari
jantan untuk menjauh. Terjadilah persaingan antar Kasuari jantan, untuk
bersaing adu strategi dan pdkt agar bisa bercumbu untuk meluluhkan sang buah
hati.
Pada saat bertelor, kasuari jantan sibuk mencari daun dan semak kering untuk segera mengerami sampai telor yang dieraminya menetas sekitar 50 -60 hari. Rata rata kasuari betina menghasilkan telor 2 -4 buah. Telor kasuari berwarna hijau cerah dengan bobot antara 600 -750 gram atau 5 – 7 kali lebih besar dari telor ayam.
Ketika kasuari jantan mengerami telor hasil buah cintanya, sang Kasuari betina melenggang pergi meninggalkan kasuari jantan, dan ia siap bercumbu dengan kasuari jantan lainnya, untuk bertelor dan berkembang biak dari pasangan yang berbeda.
Bila teman teman penasaran ingin melihat habituasi pelestarian burung raksasa Kasuari ini, datanglah ke perbukitan Isyo Hill kampung Rhepang Muaif Nimbrokrang kabupaten Jayapura. Melalui sentuhan perawatan dari bapak Alex Waisimon sang pemilik kawasan bukit di Isyo Hill, pengunjung bisa mendapat informasi langsung upaya habituasi pelestarian burung Kasuari yang semakin langka ini.
Lokasi lain untuk pelepasliaran burung Kasuari terletak di kawasan hutan Iwawa Kampung Nayaro Kabupaten Nimika. Wilayah ini merupakan tempat sakral masyarakat adat Kampung Nayaro, dan menjadi tempat atau kawasan aman bagi pelestarian burung Kasuari yang terancam punah.
Itulah kasuari salah satu fauna langka di Papua. Semoga burung
kasuari tetap lestari dan terus berseri. Seperti juga harapan generasi muda
Papua, terutama generasi muda Orang Papua Asli (OPA) yang mendambakan
pendidikan yang lebih baik (Dinn Wahyudin)
Semoga burung Kasuari tetap berseri !!
KAMPUS STT ERIKSON TRITT MANOKWARI